Desa Adat Praijing: Merekam Jejak Leluhur di Atap Lumbung dan Batu Megalit
Di atas sebuah bukit kecil yang menghadap aliran sungai dan rimbunnya perbukitan Sumba Barat, berdirilah Desa Adat Praijing—sebuah kampung tradisional yang seperti tak tersentuh waktu. Terletak di Kecamatan Waikabubak, desa ini dikenal luas sebagai representasi paling utuh dari warisan budaya megalitik yang masih hidup di Pulau Sumba. Tapi lebih dari sekadar atraksi wisata, desa ini adalah tempat di mana tradisi dan keseharian berjalan berdampingan, tanpa upaya menjadi tontonan.
Dari kejauhan, deretan rumah adat Sumba tampak kokoh dan anggun. Atapnya tinggi menjulang seperti menantang langit, disebut uma bokulu atau rumah menara. Dibuat dari bahan alami seperti kayu, bambu, dan alang-alang, setiap rumah dibagi ke dalam tiga ruang simbolis: bawah untuk hewan, tengah untuk kehidupan keluarga, dan atas untuk dunia roh dan para leluhur. Arsitektur ini bukan sekadar estetika—ia adalah manifestasi dari filosofi hidup orang Sumba tentang harmoni antara manusia, alam, dan arwah nenek moyang.
Salah satu ciri khas kampung tradisional Sumba seperti Praijing adalah keberadaan batu-batu megalit yang berdiri di antara rumah. Ini bukan batu sembarang. Mereka adalah penanda makam keluarga atau leluhur penting, dan menjadi pusat spiritual dari kehidupan kampung. Warga masih melakukan ritual penghormatan di sekeliling batu ini, memelihara koneksi antara masa kini dan masa lampau dengan cara yang tak banyak berubah sejak ratusan tahun lalu.
Menjejakkan kaki di Desa Adat Praijing bukan sekadar melihat masa lalu. Ini adalah pengalaman menyelami bagaimana nilai-nilai lama tetap hidup di tengah dunia yang terus berubah. Suara kain tenun yang dipintal, aroma kayu bakar dari dapur, dan senyum tenang warga desa membentuk atmosfer yang tidak dibuat-buat. Mereka tidak sedang “berperan” menjadi masyarakat adat untuk wisatawan—mereka benar-benar hidup di dalamnya.
Di tempat seperti ini, kamu tidak hanya belajar tentang budaya, tapi juga tentang ritme hidup yang tidak diburu waktu. Dan dalam sunyi yang lembut di bawah atap lumbung, mungkin kamu akan mendengar—untuk pertama kalinya—suara yang datang dari dalam dirimu sendiri.
Menuju Desa Adat Praijing: Panduan Akses dan Etika

Meskipun berada di wilayah yang masih alami, Desa Adat Praijing tidak sulit dijangkau bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat warisan leluhur masyarakat Sumba. Terletak sekitar 4 kilometer dari kota Waikabubak, perjalanan menuju kampung ini bisa menjadi pengalaman yang memadukan keindahan lanskap pedalaman dengan cerita panjang budaya yang tetap terjaga.
Rute dan Transportasi
Untuk mencapai lokasi, kamu bisa memulai dari Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Dari sana, perjalanan darat menuju Waikabubak memakan waktu sekitar dua jam menggunakan mobil sewaan atau kendaraan travel. Setelah sampai di pusat kota, kamu hanya perlu menempuh sekitar 15–20 menit perjalanan menuju lokasi desa.
Meski jalanan menuju desa sudah cukup baik, beberapa ruas tetap berbatu dan berdebu, apalagi saat musim kemarau. Kendaraan roda dua maupun roda empat bisa digunakan, dan papan petunjuk arah tersedia di titik-titik penting. Tidak jarang pula warga sekitar menawarkan diri menjadi penunjuk jalan atau bahkan pemandu lokal bagi pengunjung yang ingin mengenal lebih dalam tentang sejarah dan struktur sosial kampung tradisional Sumba.
Tiket Masuk dan Fasilitas
Untuk masuk ke desa, pengunjung dikenakan tiket masuk yang sangat terjangkau, biasanya antara Rp10.000 hingga Rp20.000 per orang. Biaya ini digunakan oleh masyarakat adat untuk pemeliharaan kawasan, mendukung kegiatan adat, serta menjaga keberlanjutan ekonomi desa.
Meskipun termasuk desa wisata, fasilitas modern masih sangat terbatas. Tidak ada kafe atau pusat suvenir yang mencolok. Yang ada hanyalah pondok-pondok kecil, penenun yang duduk di beranda rumah, serta anak-anak yang bermain di antara batu megalit. Jika ingin membawa oleh-oleh, kamu bisa membeli tenun asli yang dibuat langsung oleh penduduk desa.
Etika dan Tata Cara Berkunjung
Berbeda dengan destinasi wisata umum, mengunjungi rumah adat Sumba di Praijing menuntut kesadaran akan budaya dan penghormatan terhadap ruang sakral. Ada beberapa hal yang penting diperhatikan:
- Sebaiknya mengenakan pakaian sopan. Hindari pakaian terbuka berlebihan.
- Mintalah izin sebelum mengambil foto, terutama jika melibatkan warga atau bagian dalam rumah.
- Jangan memanjat atau duduk sembarangan di batu megalit.
- Hormati ritual adat yang mungkin sedang berlangsung. Jika diajak ikut, terima dengan sikap terbuka dan tidak berlebihan.
- Sapa warga dengan senyum dan kesederhanaan. Mereka terbiasa menyambut tamu dengan ramah, namun tidak terburu-buru.
Banyak pengunjung yang mengaku bahwa bagian terbaik dari kunjungan ke Praijing bukanlah arsitektur atau keindahan alamnya, tetapi pertemuan dengan warganya. Di sini, keramahan tidak dibungkus formalitas. Ia hadir dalam bentuk tawa kecil, cangkir kopi, dan cerita yang mengalir di beranda kayu.
Artikel Menarik : Pulau Kapo-Kapo Kepulauan Seribu
Napas Budaya yang Tetap Hidup di Desa Adat Praijing

Di banyak tempat, warisan budaya tinggal cerita. Tapi di desa adat Praijing, ia masih hidup—menyatu dalam helai kain yang ditenun, dalam ritme doa yang dibisikkan kepada leluhur, dan dalam struktur rumah yang tidak pernah kehilangan makna. Kampung ini bukan museum. Ia adalah perpanjangan dari masa lalu yang masih bernapas.
Tenun yang Lebih dari Sekadar Kain
Salah satu aktivitas yang paling mencolok saat berkunjung ke kampung ini adalah proses menenun. Di beranda rumah, perempuan-perempuan Sumba duduk bersila dengan penuh ketekunan, jarinya bergerak perlahan membentuk motif-motif khas yang sarat makna. Tenun di sini tidak hanya dilihat sebagai kerajinan tangan, tetapi sebagai bagian dari identitas. Setiap motif mengandung cerita tentang alam, mitos leluhur, dan filosofi hidup masyarakat Sumba.
Banyak pengunjung menganggap tenun sebagai oleh-oleh, padahal bagi warga kampung tradisional Sumba, kain ini adalah bahasa. Ia digunakan dalam upacara adat, penanda status sosial, hingga simbol kesetiaan pada budaya. Membeli tenun bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi bentuk penghargaan atas waktu dan jiwa yang ditanamkan dalam setiap helainya.
Dunia Leluhur yang Masih Dihormati
Dalam keseharian warga Praijing, hubungan dengan leluhur bukan konsep abstrak. Ia hadir dalam bentuk batu megalit, dalam makanan persembahan, dalam nyanyian adat yang kadang terdengar di sela aktivitas rumah tangga. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari cara hidup mereka.
Setiap rumah adat menyimpan altar kecil di bagian atas bangunan. Di sanalah arwah nenek moyang dipercaya tinggal, dan dari sanalah pula keluarga mendapatkan perlindungan dan petunjuk. Tidak ada batas yang tegas antara dunia yang terlihat dan yang tidak. Semuanya hadir berdampingan dalam satu ruang, tanpa konflik.
Kepercayaan ini menjadi dasar dari banyak hal—dari cara membangun rumah, menyelenggarakan pesta adat, hingga memilih lokasi pemakaman. Dan yang menarik, semua itu tidak dipertahankan karena paksaan, tetapi karena keyakinan yang lahir dari pengalaman turun-temurun.
Budaya yang Tak Pernah Terputus
Meskipun sebagian pemuda telah bersekolah ke kota dan mengenal dunia digital, banyak di antara mereka yang tetap pulang dan menjaga kampung. Beberapa kini menjadi pemandu lokal, penenun generasi baru, atau penggerak komunitas wisata budaya. Ini membuktikan bahwa modernitas dan tradisi bukan dua hal yang harus bertabrakan. Di rumah adat Sumba, keduanya bisa berdampingan selama ada kesadaran dan komitmen menjaga nilai.
Kehidupan di Praijing mengajarkan bahwa budaya tidak perlu dipertontonkan agar hidup. Ia cukup dijalani dengan jujur dan diwariskan tanpa terputus.
Dan ketika kamu menyaksikan proses menenun di pagi hari, atau melihat anak-anak bermain di bawah bayangan batu megalit, kamu akan sadar bahwa kehidupan di sini bukan tentang mempertahankan masa lalu—tapi tentang merayakan keberlanjutan nilai-nilai yang membuat manusia tetap terhubung dengan akarnya.
Refleksi dari Sebuah Kampung yang Menolak Terburu-buru
Ada sesuatu yang berbeda saat meninggalkan desa adat Praijing. Bukan hanya pemandangan perbukitan, aroma tanah kering, atau senyuman warga yang tinggal di ingatan. Yang tertinggal lebih dalam adalah rasa: semacam kesadaran bahwa tidak semua hal dalam hidup harus dikejar dengan cepat. Bahwa ada nilai dalam bertahan, dalam menjaga, dalam memilih untuk tidak berubah demi dunia yang terus berubah.

Kampung ini tidak terbuat dari nostalgia. Ia hidup di masa kini, dengan kesadaran penuh akan warisan masa lalu. Dalam setiap rumah adat Sumba, setiap batu megalit, dan setiap kain tenun yang dijemur di pagar bambu, ada cerita yang dibiarkan tumbuh tanpa dipaksakan. Dan dari situlah keindahannya berasal.
Sebagai pengunjung, kita tidak datang untuk mengubah apa pun. Kita datang untuk belajar, menyimak, dan menghargai. Kampung tradisional Sumba seperti Praijing mengingatkan kita bahwa wisata bukan sekadar hiburan visual, tapi juga pengalaman batin. Bukan sekadar tempat baru, tapi cara baru untuk memandang dunia.
Dan mungkin, saat kamu kembali ke kota, kamu tidak akan membawa banyak oleh-oleh. Tapi kamu akan pulang dengan sesuatu yang lebih utuh: kesadaran akan ritme yang lebih pelan, kehidupan yang lebih jujur, dan rasa hormat yang lebih dalam terhadap akar budaya yang tak pernah lelah berdiri.
Karena kadang, yang paling bijak bukan mereka yang paling banyak bicara—tapi mereka yang cukup diam untuk mendengar cerita dari sebuah kampung yang tak pernah berhenti mengingat.
Di followthebaldie.com, kami menulis bukan cuma soal jalan-jalan, tapi tentang bagaimana petualangan alam bisa menyentuh sisi terdalam dari seorang pecinta alam.